Cerpen 'Tradegi Ke-4 Kado Ibu'

 TRADEGI KE-4 KADO IBU

Ayashadanica Aldea Khusna


Tidak ada hal spesial yang terjadi di hari ulang tahunku.

Di satu sisi aku bersyukur bisa menjalani hidup lebih lama di satu sisi aku juga khawatir karena ulang tahun berarti perayaan mendekati hari kematian, bukan?


Jujur, aku tidak menikmati hari ulang tahun, terutama hari ulang tahun orang tuaku.


Saat aku berumur tujuh adalah kali terakhir aku mendapatkan kue sebagai perayaan, ulang tahun selanjutnya paling-paling hanya ada ucapan, hadiah dan makan di restoran. Se-simple itu.


Tapi, bukan itu yang membuatku tidak menikmatinya. Justru hadiah kecil, kejutan dan gairah yang mucul saat membuka hadiah itu menyenangkan. Ucapan juga sesuatu hal yang bermakna begitu pula saat makan di restoran, bukan hanya makanan yang aku dan orang tuaku nikmati, tapi juga kebersamaan itu yang membuatnya spesial. Yah, alasan klasik, bukan?


Kalau kalian penasaran alasan mengapa aku seringkali tidak menikmati hari ulang tahun itu karena alasan konyol yang mungkin tidak pernah terbesit di pikiran kalian sebelumnya : kekhawatiran. Khawatir akan soal apa? Soal kehidupan dan waktu yang tersisa. Memang hidup itu terus berjalan namun ulang tahun adalah salah satu hal yang menyadarkan ku kalau kehidupan memang selalu berjalan dan akan terus berlalu dengan cepat. Tidak ada dunia virtual yang bisa time-stopping sejenak tidak ada pula dunia paralel dengan perbandingan waktu 10:1


Hei, tapi seharusnya aku menceritakan hal menyenangkan dan lucu saat menulis tentang ‘ulang tahun,' kan?

Tenang, ini bukan cerita tentang si A yang hari ulang tahunnya dilupakan lalu tiba-tiba mendapatkan kejutan.


Bukan pula tentang si B yang memiliki hari ulang tahun mengenaskan berujung pada salah satu tokoh yang mati sebagai plot twist.


Cerita ini, cerita pengalaman ulang tahun Ibuku satu tahun yang lalu. Sebenarnya cerita tentang ulang tahun Ibu itu sudah biasa tapi kalau ini pengalaman nyata dan aku tidak mungkin mengubahnya menjadi Ayah karena kalau yang ulang tahun itu Ayah dan yang ‘bersekutu’ denganku untuk membeli hadiah itu Ibu, tidak akan ada kejadian seperti ini.


°


Ayahku dan aku, selalu bekerja sama untuk menghadiahkan yang terbaik untuk Ibu. Tapi jangan salah kira kalau hadiah yang kami berikan selalu memuaskan.


Hadiah termurah dan memalukan (parahnya kami baru sadar setelah memberikannya) yang pernah Ayahku dan aku berikan untuk Ibu adalah sebuah sisir. Oke, sebenarnya bukan sebuah karena totalnya ada 8 buah.


Kami membelikan itu saat perjalanan pulang dari tempat les ku ke rumah. Sepaket sisir itu kami beli di sebuah toko aksesoris yang serba berwarna merah muda di pinggir jalan. Total harganya? Hanya 23.000 rupiah untuk tujuh buah sisir dan satu sisir besar. Alasan kami membelinya? Mudah saja karena setiap hari Ibu tidak pernah sekalipun tidak menanyakan soal keberadaan sisir di rumah yang entah kenapa suka sekali berpindah tempat (padahal itu karena Ayahku dan aku sendiri yang lupa mengembalikan.)


Jadi, muncul lah ide konyol kami untuk membelikan banyak sisir agar bisa diletakkan di setiap sudut rumah jadi Ibu tidak perlu pusing-pusing berteriak setiap pagi menanyakan benda sakral tersebut.


Aku sudah lupa detailnya bagaimana ekspresi Ibuku saat itu, tapi yang jelas kalau diingat aku masih merasa malu dan kesal kepada diri sendiri dan juga berfikir, ‘apa yang Ayahku dan aku pikirkan waktu itu?!’


Eh, jangan kira hal memalukannya berhenti sampai di situ saja karena saat dipakai ke tujuh sisir itu tidak layak, karena bisa-bisa tujuh hari berturut-turut kami memakai itu rambut kami sekeluarga bisa pitak.


Sisir yang kami beli itu sisir plastik yang ringkih, susah dan sakit untuk dipakai. Satu sisir yang besar punya kualitas yang sama tapi kalau dipakai kepala rasanya tertarik kebelakang.


Lalu, bagaimana nasib akhir sisir-sisir itu? Semuanya patah dan dua atau tiga biji lainnya di museumkan di kardus berisi barang tidak layak pakai.


Nah, itu soal hadiah sisir. Tahun berikutnya ulang tahun Ibu masih saja berjalan dengan kacau. Dari lupa membeli hadiah (ini benar-benar lupa tanpa dibuat-buat) karena saat itu posisi kami sedang di luar kota, sampai kami membeli hadiah mahal dua tahun yang lalu berupa jilbab tiga pasang yang ternyata pet dan kain nya bukan selera Ibu, lucunya lagi ternyata ukuran lubang wajah jilbab itu terlalu besar bahkan bisa masuk hingga ke leher. Semua hadiah dan cerita ulang tahun Ibu mengharu— eum.. menyedihkan, bukan?


Maka dari itu, tahun lalu kami bertekad dengan sepenuh raga dan jiwa untuk membelikan hadiah terbaik untuk Ibu. Bahkan uangnya sudah kami persiapkan satu tahun sebelumnya, setor lima puluh ribu per minggu untuk Ayah dan aku dua puluh lima ribu per minggu. Uang sudah terkumpul cukup banyak sebelum akhirnya terpaksa aku pakai untuk tambahan uang saku ke Jepang.


Setelah memutar otak, akhirnya aku mendapatkan ide hadiah yang tepat.


Eh jangan mengira itu sebuah surat atau sesuatu sejenis itu, karena hadiah yang terpikirkan oleh ku saat itu hanya sepatu JK Collection. Beberapa Minggu yang lalu, aku masih ingat betul Ibu yang memuji model sepatu di majalah sepatu bermerk JK.


Warna? Itu soal mudah, aku akan memilih warna cokelat karena Ibu belum punya sepatu berwarna itu. Bahan? Jelas kulit karena itu kesukaan Ibu. Model? Yang terpenting bisa menutupi ¾ bagian kaki Ibu. Ukuran? Itu mudah karena sepatu Buccheri yang Ibu punya sebelumnya itu mirip modelnya dengan yang ini.


Keraguan ku hanya satu, apa Ibu memang ingin punya sepatu baru? Karena harga sepatu ini terbilang cukup mahal sangat mahal.


Dengan keraguan dan mencoba untuk ber-akting natural akupun memutuskan untuk bertanya.


“Bu, nanti ulang tahun mau hadiah apa?”


Ibuku menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang tidak terduga, “Yang penting mahal,” kekehnya.


“Tahun lalu juga gitu kan tapi Ibu nggak suka. Ibu lagi pengin apa?”


“Gelang kayaknya bagus juga,” jawabnya, “Tapi belikan yang Swarovski kayak oleh-oleh Ayah waktu itu,” lanjutnya lagi sambil kembali tertawa.


“Ah hadiah yang Ibu mau mahal-mahal semua.” Aku berhenti sejenak, “Kalau sepatu atau tas gimana?”


‘”Kan Ibu udah bilang yang penting mahal. Terserah kalian sajalah kalau tanya terus nggak kejutan lagi,” omel Ibuku sebelum lanjut menyetrika bajunya.


Ulang tahun Ibu kali ini sudah kuputuskan sepatu akan menjadi hadiah untuk Ibu. Uangnya tinggal aku mengorek sisa tabungan saja dan sisanya Ayah yang menambahkan. Langkah pertama adalah yang paling sulit yaitu memastikan Ayah tahu soal ini dan berdiskusi secara online karena Ayah bekerja di luar kota dan pulang di hari Sabtu, tepat saat hari ulang tahun Ibu.


Hari-hari selanjutnya tidak begitu menarik untuk di ceritakan. Hanya tentang ayahku yang meminta uangku untuk di transfer dan informasi yang baru. Ayah bilang, sepatu itu hanya ada di Jakarta dan tempatnya tidak jauh dari kantor ayah. Kemarin Ibu sempat menebak hadiahnya itu sepasang sepatu karena foto yang ternyata masih ada di whatsapp antara aku dan Ayah tapi aku beruntung bisa mengatasi masalah kecil itu dengan baik. Ayah sebenarnya juga menawariku untuk membelikan Ibu HP baru karena HP milik Ibubyang sekarang juga sudah tua, tapi aku menolaknya karena Ibu memang tidak mau HP baru, aku masih ingat alasannya, kata Ibu, selama HP nya masih bisa dipakai kenapa tidak?


Semua berjalan lancar, kado dan bungkusnya juga sudah ayahku urus termasuk surat dariku nantinya. Kupikir ulang tahun ini akan memuaskan karena hadiahnya tidak akan kacau seperti dulu.


Kupikif akan lancar seperti yang aku harapkan tapi ternyata tidak. Yah, bagaimanapun juga cerita tidak akan seru tanpa sebuah plot twist bukan?


H-1, sore sebelum hari lahir Ibu, Ayah menunjukkan ku ‘penampakkan’ kadonya. Di telepon, Ayah mengeluarkan sebuah kotak merah dengan kait dibagian luar dan foto keluarga kami bertiga yang dihiasi lampu kecil berwarna kecil. Satu kata, indah. Tempat kado itu benar-benar indah dan terkesan mewah. Sebelum menutup telepon, Ayah bilangnkalau ia akan sampai rumah saat malam.


Di pikiranku tersusun rencana kalau perayaan sederhana alias buka kado itu akan dilakukan tengah malam, berarti saat Ayah pulang, pas sekali. Sudah kubayangkan sepasang sepatu kulit berwarna cokelat di dalamnya, aku yakin betul kalau Ibu pasti akan menyukainya.


Malamnya, aku tertidur sebentar sebelum alarm dari gawai-ku berbunyi. Beruntung Ibu masih tertidur lelap di sebelahku. Aku menghembuskan nafas lega. Setelah alarm berbunyi, aku segera bersiap-siap turun.


Suara mobil Ayah terdengar dari kejauhan. Ayah biasa menggunakan mobil panther lama dengan suara nyaring. Aku dengan semabgat namun berhati-hati menuruni anak tangga dan menyambut Ayah datang. Tanpa membuang waktu lama, kado dari tangan Ayah langsung kuambil dsn kuselipkan secarik kertas di tali kado. Sempurna!


Ayahku dan aku segera mengendap-endap menuju kamar. Sudah kubayangkan betul wajah Ibu yang akan terkejut nantinya. Lampu kamar kami nyalakan, pats!

...siapa sangka kalau Ibu tidak ada di tempat tidur!

Ayahku dan aku langsung panik, mencari ke segala sudut ruangan mulai dari dapur hingga kamarku namun hasilnya nihil, Ibu tidak ada. Aku mulai berteriak memanggil nama Ibu dengan panik, apa Ibu tiba-tiba menghilang? Ah tidak mungkin, ini bukan dunia paralel.


Ayah akhirnya memutuskan untuk mengintip kedalam kamar mandi dan aku mengekor di belakangnya.


Tangan seseorang terjulur keluar dibarengi dengan suara teriakan. Ibu keluar dari balik pintu kamar mandi dengan penuh gelak tawa melihat ekspresi terkejut kami berdua yang memang diambang bingung dan kaget.


“Lho bukannya kalian yang harusnya bikin Ibu kaget?” goda Ibu yang dilanjut kembali dengan suara tawanya.


“Huh!” aku bersungut-sungut menuju ruang keluarga, “Kenapa Ibu udah bangun duluan sih, kan nggak seru!” aku mengomel pelan.


Eh, tapi siapa sangka kejutannya sampai di situ saja?


Setelah segala jenis ucapan ulang tahun, doa dan juga setelah Ibu membaca surat dariku, Ibu membuka kado di dalam kotak merah berukuran se-kotak sepatu itu.


...dan kalian tahu apa yang aku lihat?

Bukan sebuah kotak sepatu bertuliskan JK Collection...


Melainkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang kecil berukuran telapak tangan orang dewasa dan berwarna putih yang penempati kotak kado merah besar itu. Juga sebuah casing HP berwarna hijau pastel yang masih baru.


Pikiranku masih bercabang saat itu dan bertanya-tanya kenapa bukan sepatu? Kenapa hadiahnya ini? Apa ini?


Aku tersadar dari lamunan karena kekehan ayahku.


Ibuku di sebelahku hanya sibuk membuka boks berisi gawai baru tersebut sedangkan Ayah masih terkekeh-kekeh melihat ekspresiku—

—yang bahkan lebih kaget dan bingung dibandingkan Ibu yang sedang berulang tahun.


“Kaget ya Ayah malah beliinnya HP bukan sepatu?” celetuk Ayah, “Ya jelas lebih oke HP. Harga sepatunya terlalu mahal, nggak worth it karena harganya setengah harga HP jadi ayah belikan HP aja sekalian,” jelasnya.


Aku mengangguk patah-patah, memaksakan diri untuk mencerna ucapan Ayah.


Ibu malah lebih mengerti situasinya dan mencerna lebih cepat sebelum akhirnya tertawa lepas karena paham akan drama kecil antara aku dan Ayah.


“Kalian kan kerja sama kok malah gini sih jadinya?”


“Nggak papa. Ayah sengaja biar semua kaget juga,” ujar Ayah seraya kembali terkekeh pelan.


Malam itu, setelah tradegi buka kado yang tidak terduga, dari kejutan membangunkan Ibu yang gagal sampai Ayah yang ternyata ‘mengkhianati’ ku dengan membeli kado yang berbeda sesuai kesepakatan, kami kembali tidur. Ayah dengan perasaan senang karena berhasil membuatku terkejut, Ibu yang juga senang karena berhasil menggagalkan rencana kejutan dan aku dengan perasaan campur aduk antara bingung dan kesal.


Setidaknya aku perlu bersyukur karena ulang tahun ini hadiahnya bukan hanya empat pasang sisir atau jilbab dengan lubang kepala yang kebesaran.


Tiga hari kemudian baru ku ketahui alasan Ibu terbangung malam itu karena suara mobil panther tua kantor Ayah yang memecah keheningan suasana malam sekitar rumah


Kotak kado yang masih disimpan rapih sampai sekarang, sedikit berdebu tapi lampunya masih dapat menyala dengan baik.


-FIN-



Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel.

#lombacerpenultahGR

Share:

Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes