Cerpen 3

Heloooo, lama tak jumpa~ Kali ini, aku coba share cerpenku ke kalian, yaaa 😊. Selamat membaca~ ;"

Cerita Karyawisata
Oleh : Ayashadanica Aldea Khusna

Aku memandangi surat izin karyawisata. Aku membatca persyaratannya perlahan lalu, terlonjak kaget ketika menemukan  kenyataan yang tidak menyenangkan. Di surat itu tertera, kalau Murid wajib membayar dana sebesar Rp.500.000,00.  Harap diberikan kepada  guru kelas beserta surat izin, paling lambat tiga hari sebelum karyawisata dilaksanakan. 
Aku mebacanya lagi dan lagi. Bagaimana bisa aku mendapatkan uang sebanyak itu? Aku tidak ingin merepotkan orang tuaku. Aku ingin mendapatkan uang  itu dari usahaku sendiri. Tapi lebih baik, aku memberitahu orang tuaku saja. Aku takut  tidak bisa menghasilkan uang sebanyak itu.
“Askal! Oiii!” akuu mendengar seseorang berteriak memanggil namaku sambil menepuk bahuku.
“Huaaa” aku berteriak kencang, seraya menengok ke belakang. Ternyata Nemo. “Ada apa, sih?! Kau bikin aku kaget!” 
 “Kau kenapa, Askal? Dari tadi kau terus melamun! Aku sampai lelah menyadarkanmu!” ucap Nemo sambil menatapku tajam sampai kacamatanya melorot. 
“Lho, jadi kau sejak tadi memperhatikan aku, Nemo? Kenapa.... kau di sini?” tanyaku penasaran.
“Begini, Askal. Sekarang kita di sekolah, dan sudah waktunya pulang. Sejak tadi aku heran dan bingung. Sejak tadi kau itu melamun atau tertidur? Akhirnya aku menepuk bahumu dan kau tersadar,” jawab anak lelaki yang seumuran denganku, kacamatanya itu ia betulkan posisinya.
Aku tersadar, rupanya sejak tadi seharusnya ia pulang sekolah. Dan ternyata, aku malah melamun.
Nemo itu sahabatku. Kami bersahabat bahkan sebelum kami tahu nama kami sendiri. Maksudku, aku dan Nemo sudah kenal sejak kami masih kecil. Kebetulan orang tua kami memiliki perusahaan yang sejenis, jadi aku sangat dekat dengan Nemo, lebih dari sekedar sahabat.
Nemo selalu membantuku apa pun situasinya. buktinya, ia mau menungguku, padahal bisa saja ia pulang sejak tadi. Tapi... sayang sekali, perusahaan keluarga Nemo juga ikut gulung tikar dua bulan yang lalu.
“Nemo, ayo pulang!” ajakku.
“Ayo, masa kita mau bermalam di sekolah,” canda Nemo.
“Hmm.. Nemo, kau akan ikut karyawisata, tidak?” tanyaku. 
“Askal, sejak beberapa bulan ini, aku tidak pernah memberitahu orang tuaku apa keinginanku. Kau tahu, kan? Kalau keadaanku lebih menyedihkan dibandingkan kau? Aku bahkan tidak bisa pergi ke mana-mana. Yah, bisa dibilang kalau aku ingin sekali mengikuti karyawisata itu. Tapi....“ ucapan Nemo terpotong.
“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran.
 “Aku tidak ingin membebani orang tuaku lagi!” jawab Nemo.
“Wah, berarti kita sama, Nemo! Aku juga ingin sekali ikut karyawisata. Tapi, sepertinya orangtuaku tidak mempunyai uang Nemo.”
“Coba saja beritahu orangtuamu!” usul Nemo.
Aku menganggukan kepala. “Iya, aku akan memberitahu orang tuaku. Siapa tahu, mereka bisa memberitahu caranya tanpa perlu turun tangan.”
“Aku juga akan pergi, Askal. Tapi jangan beritahu siapapun kalau sebenarnya aku memiliki tabungan rahasia yang cukup untuk memberangkatkanku karyawisata,” Nemo mengatakannya dengan jujur. 
Aku mengangguk, menyetujui permintaan Askal. 
Setelah itu, kami sama-sama mengeluarkan hoodie bertudung yang bewarna hitam milik kami, lalu bergegas mengambil sepeda di halaman sekolah. Sejak tadi, sekolah kami sudah sepi sekali, karena guru-guru semua masih rapat di ruang guru. Aku mengambil sepedaku lalu mengayuhnya perlahan, agar tetap berada di samping Nemo.
“Askal, kau jangan terlalu banyak melamun lho. Kau juga harus banyak makan dan minum air putih, jangan lupa istirahat. Kau kan tahu kalau daya tahan tubuhmu itu lemah, harus dijaga. Oh ya, tadi ada perkerjaan rumah pelajaran matematika halaman tiga puluh empat sampai empat puluh, ilmu pengetahuan sosial halaman empat puluh empat sampai halaman lima puluh empat. Jangan lupa dikerjakan,” Nemo mulai mengingatkan panjang lebar.
Aku mengangguk. “Sampai besok, Nemo!” aku sengaja berbelok ke arah yang berlawanan. Aku ingin memutari area industri dulu. Aku sedang bosan mendengar omelan Nemo yang tidak ada ujungnya.                 
@@@
Tak lama, aku sampai di rumahku. Aku memberi salam dan menunggu Kak Rahel membukakan pintu.
Kriet, pintu terbuka, tampaklah kakak perempuanku yang tingginya hampir seratus lima puluh senti itu tampak kesal. Aku segera membungkuk dan masuk ke kamarku.
“Askal! Sebentar lagi makan siang, lho! Ganti bajumu, istirahat sebentar lalu makan!” Kak Rahel berteriak, mengingatkan. Aku buru-buru mengganti bajuku dan menyiapkan mental untuk memberitahu orang tuaku tentang karyawisata yang diadakan sepuluh hari lagi.
Aku mengintip, di sana kulihat Mama yang sedang mengukus nasi. Aku sudah tahu pasti, kalau Mama pasti hanya memanaskan nasi kuning yang dijual untuk makan siang. Sekarang, orang tuaku menjual nasi kuning, walaupun sudah membuka di dua tempat, tetap saja untuk kebutuhan sehari-hari baru cukup.
“Askal! Rahel! Makan siangnya sudah siap!” terdengar suara  Mama dari dapur kecil kami. 
Aku segera memegang suratnya dan berjalan menuju karpet yang berada di ruang tengah. Kami memang tidak memiliki ruang makan ataupun meja makan. Setelah semuanya siap, kami mulai makan dengan tertib. Walaupun keadaan keluargaku begini, orang tuaku tetap tegas masalah tata bahasa, moral, etika dan kelakuan kita. Saat makan, dilarang bicara, makan terlalu cepat, bersin di hadapan makanan, tidak berdoa dan lain-lain itu contoh hal yang tidak boleh dilakukan.
“Peraturan keluarga, bagian makan, Dilarang makan dengan keadaan melamun, tidak menatap lawan bicara ataupun mengalihkan pandangan!” Papa mengingatkan dengan tegas kepadaku yang saat itu sedang melamun. 
Aku langsung saja tersadar dari lamunanku. Sepertinya Papa, Mama, dan Kak Rahel sudah menyadari, bahwa sejak tadi ada yang mau aku katakan.
Ketika semua sudah selesai makan, Aku dan Kak Rahel segera membereskan piring dan meletakkannya di cucian. Kami langsung kembali setelah itu.
“Askal, ada apa? Kalau kau tidak keberatan untuk bicara, bicaralah! Kami akan mendengarkan!” Mama bertanya padaku. 
Aku segera duduk sambil menyilangkan kedua kakiku, dan memberikan ‘SURAT IZIN KARYAWISATA' pada Mama. Mereka membacanya dengan cepat.
“Askal, jadi maksudmu, kau membutuhkan uang sebanyak lima ratus ribu untuk membayar dana karyawisata? Tapi, maaf saja. Kami tidak memiliki uang sebanyak itu, Askal! “ celetuk Papa secara tiba-tiba.
“Tidak, Pa! Askal hanya ingin meminta persetujuan, masalah biaya biar Askal yang mengurusnya. Boleh, ya?” tanyaku ketakutan.
Mama dan Papa mengangguk lalu tersenyum bangga, lalu menandatangani surat itu untukku. Aku senang. Sekarang aku harus mencari cara untuk mendapatkan dana karyawisata.
Aku kembali masuk ke kamarku. Aku memandangi lekat-lekat seluruh mainan yang tersisa. Semuanya bukan mainan yang mahal, karena tentu saja yang mahal sudah dijual. Di etalase itu tampak banyak mainan yang berjajar. Tiba-tiba aku punya ide. Aku melompat, memakai hoodieku dan meminta izin pada orang tuaku.
“Ma, Pa, Kak Rahel, boleh aku pergi sebentar untuk menjalankan misiku?” tanyaku bangga.
“Ah, baiklah, hati-hati, Askal! Semoga berhasil” jawab Mama, Papa hanya mengangguk mantap.
“Assalamualaikum,” kataku memberi salam.
“Waalaikumusalam” jawab mereka.
@@@
Aku segera berlari menuju tempat sepedaku berada. Aku segera mengayuh sepedanya mengitari area industri, lalu aku masuk ke dalam kawasan industri. Dulu, Papa memiliki cabang perusahaan di dekat sini. Sering kali Aku naik sepeda berkeliling, dan menyapa para satpam,  jadi banyak orang yang mengenal diriku. Aku segera berbelok menuju pabrik kayu, di sana, aku memiliki orang yang ku kenal yang mungkin bisa membantu.
     “Paman!” teriakku, menyapa Bos dari perusahaan itu.
     “Ah, Askal! Apa kabarmu? Sepertinya kau membutuhkan bantuanku, ya?” tanya lelaki yang bernama Paman Leroro itu.
“Ya, Paman. Aku butuh kayu sisa yang tidak terpakai, ada tidak” tanyaku antusias.
“Ah, tentu saja ada. Nah, kau mau masuk?”  tawar Paman Leroro.
“Tidak. Aku tunggu di sini saja, Paman. Aku butuh cukup banyak kayu,” jawabku sambil tersenyum.
Tidak lama, Paman Leroro memberikanku banyak potongan kayu kecil yang sudah diukur Paman Leroro menatanya di sepedaku lalu mengikatnya dengan kencang.
“Terima kasih, Paman!”
“Sama-sama. Hati-hati” ujar Paman Leroro mengingatkanku seraya aku mengayuh sepeda pergi menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku mengajak Rici, Pion dan Meka untuk berkumpul di lapangan, mereka itu tetanggaku yang seukuran denganku, mereka berasal dari desa, lho.
“Ada apa, Askal? Kenapa tiba-tiba kau meminta kami berkumpul? Lalu untuk apa kau membawa kayu sebanyak itu dan juga gergaji?” tanya Rici.
“Hehehe,” aku hanya tertawa.
“Oh, kau mau kita ajari dan buatin mainan mobil, truk, becak dan motor yang dari kayu, ya?” tebak Pion.
“Ya elah, itu mah kecil! Aku ambil peralatan yang lain, ya. Cuma dipahat dan paling sebentar juga jadi!” ujar Meka menjahili aku.
“Pertama kita akan membuat pola, lalu potong kayu dan tempel,” ujar Pion
Aku hanya tersenyum dan mengamati mereka lekat-lekat.                                                       @@@
Keesokan harinya, aku, Rici, Pion dan Meka duduk di karpet tempat kita berjualan. Ya, setiap pulang sekolah, aku menjual mainan kendaraan dari kayu itu. Ini jalan terakhir yang kulakukan, tapi untung saja ketiga temanku mau membantu. Aku menyesal sekali. Coba kalau dari dulu aku rajin menabung seperti Nemo, pasti sekarang tidak perlu berjualan seperti ini. Ah! Aku tidak boleh mengeluh! Askal semangat! Aku harus menyemangati diriku sendiri.
“Dek, buat sendiri, ya? Kakak beli lima, buat oleh-oleh. Berapaan nih, kasih diskon, ya?” tanya seorang pelanggan membuyarkan lamunanku. 
“Eh, iya! Tergantung, kak! Semakin kecil ukurnya semakin murah. Nah, kakak mau beli yang mana” tanyaku dengan ramah.
“Saya ingin membeli truk kayu lima dan bus kayu lima. Semuanya berapa, ya?” tanya pelanggan wanita itu.
 “Semuanya tiga ratus ribu. Terima kasih, kak!” jawabku. Tentu saja aku senang sekali, dengan begini, aku akan mendapatkan sisa uang yang aku butuhkan untuk karyawisata sebentar lagi.
@@@
Setelah seminggu berlalu, kini giliran para siswa untuk mengumpulkan surat yang di situtertera: ‘SURAT IZIN PERSETUJUAN ORANG TUA UNTUK KEGIATAN KARYAWISATA BAGI PARA MURID’. Aku sangat tidak sabar untuk memberikan uang dan suratnya saat pulang sekolah.
Saat pulang sekolah, aku segera berbaris di kelasku, menunggu giliran mendaftarkan diri.
“ASKAL GANDHI” panggil seorang guru. 
Aku segera menatap kertas absen. Aku sebenarnya merasa heran, kenapa pagi ini Nemo tidak datang?
“Cepatlah,” ujar guru itu.
“Bu, kenapa hari ini Nemo tidak berangkat?” tanyaku penasaran.
“Nemo? Nemo Mahatma, maksudmu?”
Aku mengangguk. “Iya, Bu!”
“Ibunya dirawat di rumah sakit. Untung saja Nemo punya cukup uang untuk itu untuk biaya rumah sakit. Tapi mungkin ia tidak dapat mengikuti karyawisata,” jawab guru itu. 
Apa? Aku kaget sekali. Aku langsung keluar dari barisan, mengambil sepeda, lalu mengayuhnya dengan cepat menuju rumah sakit, Yah, asal kalian tahu, hanya ada satu rumah sakit di daerah ini.
Aku langsung masuk ke rumah sakit untuk berniat menjenguk Ibu Nemo.        
@@@
Di sinilah aku berdiri, melihat bus pariwisata yang akan menuju ke tempat karyawisata menyalakan mesinnya. Aku menatap bus itu dengan bangga. Yah asal kalian tahu, aku....... BERHASIL! Bukan.... aku bukan berhasil mengikuti karyawisata, tapi.... aku tahu semua arti perjalanan hidup ini. 
Perjalanan hidup yang bahkan belum aku lampaui setengahnya. Aku tahu arti jerih payah dan usaha keras untuk menggapai keinginan, tapi aku lebih mengerti arti saling menolong dan berbagi. Aku ingin karyawisata, tapi... aku relakan semua impianku, untuk sahabatku. Ketika hari itu, aku gantian menjaga Ibu Nemo, dan uangnya aku berikan pada Nemo, sahabatku itu yang lebih membutuhkan semua hal itu. Aku senang dan bangga. melihat sahabatku itu melambaikan tangan di bus sambil berucap pelan, ‘Terima kasih, Askal. untuk semuanya!” 
Aku tahu, masih akan ada kesempatan, lain waktu. Karyawisata, aku tunggu kehadiranmu kembali!  

Share:

Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes